
PADA Juni 2013 banyak
investor di pasar
finansial global berpotensi rugi
besar atau labanya menciut tajam. Dari
New York, London, Moskwa, Mumbai, hingga Shanghai,
pasar saham dan surat
utang terpuruk.
Di Asia saja, sejak
awal Juni indeks pasar saham Indonesia telah turun 10%, Filipina 12%,
Thailand 11%, China 10%, dan Korea Selatan 9%. Harga surat utang negara
(SUN) Asia ikut terpuruk, sehingga imbal hasil SUN dengan tenor 10 tahun
di Indonesia naik 0,8%, Filipina 1,3% dan India 0,2%.
Akibat
aksi jual saham dan surat utang secara massal di Asia, dolar AS menguat
terhadap rupee India (4,9%), peso Filipina (3,5%), Thai baht (2,2%) dan
rupiah (1,5%).
Mengingat yang terpuruk bukan pasar finansial Indonesia, pemicu utamanya bersifat global, khususnya di AS.
Pada
19 Juni, Gubernur bank sentral AS (Federal Reserve atau the Fed) Ben
Bernanke menyatakan kebijakan quantitative easing (QE) jilid III, yang
diawali pada September 2012, mungkin akan mulai diperkecil skalanya pada
akhir 2013 dan diakhiri pertengahan 2014—walau jadwal pastinya akan
tergantung laju pertumbuhan ekonomi AS.
Prinsipnya kebijakan QE
III adalah pembelian oleh the Fed SUN AS (US treasury bonds) dan
obligasi korporasi sebesar US$85 miliar setiap bulan untuk menyuntik
dana segar ke perekonomian AS. The Fed membiayai pembelian tersebut
dengan mencetak uang.
Mengapa the Fed melakukan kebijakan sangat
agresif dan rawan memicu inflasi? Karena sejak memangkas suku bunga
acuannya (FFTR) ke 0,25% pada 2008, eko nomi AS ternyata masih sangat
rentan.
Karena FFTR sudah “mentok” tidak bisa dipangkas lagi,
the Fed tidak bisa memberi tambahan stimulus selain dengan memompa
likuiditas ke perekonomian AS. Melalui QE III, the Fed mencoba memenuhi
dua objektif.
Pertama, tambahan uang
segar diharapkan bisa memicu belanja masyarakat dan korporasi lebih
pesat untuk memicu pertumbuhan ekonomi AS. Kedua, dengan memborong US
treasury bonds dan obligasi korporasi, harganya naik dan imbal hasilnya
turun sehingga bisa mengurangi biaya hutang sektor korporasi AS.
Kebijakan QE memiliki dua dampak.
Dampak lokal di AS (yang diharapkan) dan dampak global, yang merupakan side effect kuat dan tidak terduga.
Di
AS QE dapat meredam kepanikan pasar dan memastikan sirkulasi dana tetap
banyak dengan bunga yang rendah. Namun, kebijakan ini juga menciptakan
pertumbuhan “uang nganngur” (bahasa kerennya ekses likuiditas) yang
tidak bisa seluruhnya diserap oleh sektor riil AS – karena pertumbuhan
peredaran uang lebih pesat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Dampak
globalnya, investor terpaksa merealokasi dana mereka dari pasar SUN dan
uang AS (mengingat bunga deposito US$ yang rendah) ke bursa saham AS
dan ke negara lain yang suku bunga dan pertumbuhan ekonominya relatif
tinggi.
Dengan banyaknya jumlah US
dolar yang dicetak, kebijakan QE AS juga memperlemah kurs dolar AS, yang
membantu eksportir AS. Implikasi ini mengkhawatirkan bank sentral
lainnya, termasuk European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BoJ)
karena mata uang mereka (euro dan yen) menguat terhadap dolar AS dan
memukul ekspor Eropa dan Jepang.
Akibatnya ECB dan BoJ melakukan
kebijakan QE juga (BoJ melalui intervensi di pasar valas), untuk
memastikan mata uang mereka tidak menguat serta memberi stimulus ekonomi
di negara masing-masing. ECB juga melakukan QE untuk membeli SUN negara
Uni Eropa yang bermasalah (seperti Yunani, Itali dan spanyol) dan
memastikan pemerintah di negara tersebut mendapat uang segar untuk
membayar utangnya yang jatuh tempo.
Terjadilah currency war,
dimana para bank sentral bersaing untuk mendepresiasi mata uangnya.
Kebijakan QE bank sentral global semakin menciptakan ekses likuiditas
dalam jumlah yang besar di perekonomian dunia, likuiditas yang tidak
bisa sepenuhnya diserap oleh sektor riil dunia–mengingat pertumbuhan
ekonomi dunia melambat dari 3,1% pada 2011 ke 2,5% pada 2012.
Maka
dana menganggur ini ikut dialokasikan ke pasar saham dan surat utang
dunia–karena harga surat utang AS sudah mahal akibat QE III, investor
mencari surat utang
di negara lain yang harganya lebih murah,
termasuk SUN Indonesia. Realokasi ini memicu penguatan indeks saham
sejak awal 2013 hingga Mei. Walau banyak bank sentral di negara
berkembang yang mengeluh atas kebijakan QE dan perang valasnya Fed, ECB
dan BoJ, keadaan ini telah memicu kenaikan harga aset di negara
berkembang yang ikut menguntungkan para investor di negara tersebut.
But
all good things must come to an end. Sewaktu Ben Bernanke
mengindikasikan akan berakhirnya QE III dan pembelian surat utang oleh
the Fed (yang akan memicu penurunan harga US treasury bonds, kenaikan
imbal hasil obligasi dan akan menyerap kembali ekses likuiditas kembali
ke bank sentral), investor menjadi panik.
Sebelum wacana
pengakhiran QE III dilaksanakan, investor sudah menjual surat utang dan
sahamnya duluan, yang memicu terpuruknya pasar finansial global.
Kepanikan investor diperburuk dengan terus rentannya pertumbuhan ekonomi
China, sebagai motor pertumbuhan Asia.
PROSPEK KE DEPAN
Seperti
biasanya, pasar finansial over-react terhadap “kemungkinan buruk” yang
belum tentu terjadi. Pertama, Standard Chartered memperkirakan
pertumbuhan ekonomi AS tetap rentan, dan akan turun dari 2,2% pada 2012
ke 2,1% pada 2013, walau akan naik ke 3% pada 2014. Artinya, the Fed
tidak akan terburu-buru mengakhiri QE III tahun ini.
Kedua, pasar
finansial pernah mengalami diakhirinya kebijakan QE I (2010) dan QE II
(2011)–memang saat itu pasar finansial terpuruk tetapi hanya temporer
sebelum rebound kembali.
Ketiga, mengingat ada beberapa bank sentral
yang melakukan kebijakan QE, kemungkinan besar the Feds akan mengakhiri
kebijakan QE III melalui koordinasi antarbank sentral–karena kalau tidak
US dolar akan menguat terlalu tajam dan memukul ekspor AS sendiri.
Keempat,
kalau pun QE III berakhir, suku bunga US dolar (FFTR) diperkirakan akan
tetap rendah sampai 2015, seperti yang telah diindikasikan oleh the Fed
sendiri. Artinya dalam 18 bulan ke depan
memarkir uang di pasar uang dengan bunga yang rendah tetap bukanlah opsi yang menarik bagi investor global.
Setelah
pasar finansial stabil lagi, investor akan kembali ke pasar saham–walau
imbal hasil surat utang dunia kemungkinan akan stabil di level yang
lebih tinggi, apa lagi kalau imbal hasil US treasury bond 10-tahun,
misalnya, akhirnya naik dari 2% ke 4%. Terakhir, saya tidak melihat
diakhirinya QE III sebagai sesuatu yang negatif karena artinya ekonomi
AS (yang menggerakkan 20% dari PDB dunia) bisa kembali menjadi motor
penggerak ekonomi dunia, apa lagi di saat pertumbuhan ekonomi China
melambat.
Memang untuk sementara investor saham akan konsentrasi
berinvestasi di AS tetapi akhirnya mereka tetap harus diversifikasi ke
emerging markets, termasuk Indonesia. Sebagai pelaku pasar saya pernah
mengalami krisis yang lebih parah (krisis Meksiko 1995, krismon Asia
1997/8, mini-krisis Indonesia 2005, krisis global 2008, krisis euro
2011), sehingga saya menyimpulkan kepanikan investor atas prospek
berakhirnya QE III sifatnya minor dalam sejarah kapitalisme pasar.
Saya
pribadi tidak menjual saham untuk profit-taking bahkan koreksi pasar
saham yang dalam merupakan kesempatan untuk membeli saham. Bagi investor
rupiah, respons kebijakan pemerintah dan BI jauh lebih penting dalam
menentukan kepercayaan investor pada pasar finansial Indonesia.
Kebijakan
penaikan harga BBM sudah tepat untuk memperkuat kredibilitas pemerintah
dan meyakinkan lembaga peringkat risiko bahwa kebijakan fiskal
Indonesia tetap prudent. Sementara BI diperkirakan akan terus menaikan
suku bunga untuk membuat rupiah menarik.
In the end, we must do our best with matters we can control, and pray for the best that others will do the same.