Jakarta - Budi terperanjat, tak lama
iapun menggeleng-gelengkan kepalanya, sambil memandang sesuatu dalam
berkas yang membuatnya tak percaya. Berkas dihadapannya tersebut ia
bolak balik seakan mencoba mencocokkan data dari satu berkas ke berkas
lainnya. Sebagai seorang Account Representative (AR) di suatu Kantor
Pelayanan Pajak (KPP) di Jakarta ia pantas untuk terkaget-kaget.
Berdasarkan data yang diterimanya dari Bank Indonesia, dia mendapati
bahwa salah satu Wajib Pajak yang harus dilayaninya ternyata memiliki
beberapa rekening Koran yang belum dilaporkan ke kantor pajak. Sang AR
lebih terkejut lagi manakala mendapati bahwa Wajib Pajak tersebut tengah
berupaya gencar-gencarnya membangun pabrik di beberapa lokasi, sesuai
dengan data pemberian Hak Guna Bangunan (HGB) yang diterimanya dari
Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Budi tahu betul, bahwa sang
Wajib Pajak, sebut saja PT. X, selalu melaporkan rugi pada laporan
keuangannya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan komposisi permodalan
yang tidak pernah bertambah, mustahil bagi PT. X melakukan ekspansi
bisnis besar-besaran di tengah kerugian usaha yang menderanya. Akhirnya
Budi menyimpulkan bahwa PT. X diduga kuat merekayasa laporan keuangannya
dengan tujuan mengecilkan pajak yang harus dibayar.
Penghindaran pajak sebagaimana kasus di atas seringkali ditemui di
seluruh Negara termasuk Indonesia. Secara umum, penghindaran pajak dapat
dilakukan dengan memanfaatkan celah pada ketentuan perpajakan yang
berlaku atau dengan melakukan aktivitas ilegal yang melanggar ketentuan
perpajakan. Seluruh Wajib Pajak memiliki hak untuk melakukan perencaaan
pajak (
tax planning) guna mengoptimalkan pembayaran pajaknya
melalui skema tertentu yang tidak melanggar ketentuan perpajakan. Skema
seperti ini, dikenal dengan nama
tax avoidance, adalah upaya legal dalam menghindari pajak.
Namun demikian, aktivitas seperti rekayasa laporan keuangan, rekayasa
transaksi keuangan, penerbitan faktur pajak fiktif maupun upaya untuk
tidak melaporkan seluruh aktivitas keuangan perusahaan adalah aktivitas
ilegal yang melanggar ketentuan perpajakan. Upaya ini dikenal dengan
nama
tax evation, dan dapat menjerumuskan siapa saja yang melakukannya ke dalam tindak pidana perpajakan.
Dalam Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) dikenal beberapa jenis
tindak pidana perpajakan, diantaranya:
- tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar;
- tidak mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP) atau dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), atau
penyalahgunaan NPWP/PKP;
- memperlihatkan pembukuan palsu atau dipalsukan seolah-olah benar yang tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya;
- tidak menyelenggarakan pembukuan di Indonesia;
- tidak memperlihatkan atau tidak menyimpan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan, atau pembukuan termasuk hasil pengolahan data pembukuan yang
dikelola secara elektronik di Indonesia;
- tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut;
- menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti
pemotongan/pemungutan pajak dan/atau bukti setoran pajak yang tidak
berdasarkan transaksi sebenarnya; dan
- menerbitkan faktur pajak tetapi belum dikukuhkan sebagai PKP.
Tindak pidana di atas dapat dikenakan kepada Wajib Pajak itu sendiri,
wakil, kuasa, pegawai dari Wajib Pajak, atau pihak lain yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Saat ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terus dibekali dengan berbagai
senjata ampuh untuk menjerat para pelaku tindak pidana perpajakan. Ketentuan terbaru, Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 31 Tahun 2012
tentang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi yang Berkaitan
dengan Perpajakan. Peraturan yang terbit pada tanggal 27 Februari 2012
ini mengatur mekanisme pemberian data dan informasi dari pihak lain ke
DJP. Di samping itu, peraturan ini juga memberikan wewenang kepada DJP
untuk menghimpun data dan informasi tambahan secara rahasia, misalnya
melalui kegiatan intelijen.
Sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan PP tersebut, bahwa tujuan pemberian dan penghimpunan data dan
informasi ini adalah untuk:
- membangun data perpajakan sebagai dasar pengawasan kepatuhan
pemenuhan kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh masyarakat secara self assessment;
- meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak;
- meminimalkan kontak antara aparat pajak dengan Wajib Pajak, dan
- meningkatkan profesionalisme aparat pajak dan Wajib Pajak.
Adapun inti dari PP tersebut adalah bahwa untuk mendukung keberhasilan
sistem pengawasan Wajib Pajak, instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,
dan pihak lain, wajib memberikan data dan informasi perpajakan kepada
DJP. Pemberian tersebut dilakukan secara berkala dalam bentuk
elektronik. Pihak yang wajib memberikan, rincian data dan informasi yang
wajib diberikan, mekanisme pemberian, dan jangka waktu pemberian,
diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK).
Selanjutnya, melalui PMK
Nomor 16/PMK.03/2013
tentang Rincian Jenis Data dan Informasi serta Penyampaian Data dan
Informasi yang Berkaitan dengan Perpajakan, diatur pihak pemberi,
rincian jenis data dan informasi yang diberikan, dan jadual
penyampiannya. Dalam ketentuan tersebut, Bank Indonesia wajib memberikan
data informasi debitur dan informasi devisa hasil ekspor. Sedangkan BPN
wajib memberikan data pensertifikatan tanah, data pemberian hak pakai
atas tanah, serta data pemberian hak guna bangunan.
Selain
senjata ampuh di atas, DJP juga gencar melaksanakan kerjasama dengan
berbagai instansi seperti Pusat Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK),
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Saat ini, penyidik
pajak memiliki
akses langsung terhadap data PPATK. Sedangkan
kerjasama
dengan LAPAN difokuskan pada analisis peta bumi untuk mengawasi luasan
lahan perkebunan maupun pertambangan. Dengan demikian, seorang AR
seperti Budi dapat dengan leluasa mengawasi kepatuhan Wajib Pajak yang
dilayaninya dengan cermat.
Demi mengamankan penerimaan negara
itulah, selain upaya kerjasama dengan pihak ketiga dan pengenaan sanksi
terhadap Wajib Pajak bandel, DJP pun terus berupaya untuk memperbaiki
SDMnya melalui pelatihan pegawai, pembenahan mental pegawai, dan
implementasi
Whistleblowing System (WBS) yang telah berjalan
dengan baik. Program
bersih-bersih
pegawai pajak bandel pun mulai menampakkan hasilnya. Penangkapan
beberapa pegawai pajak oleh KPK, adalah salah satu hasil dari WBS.
Senjata yang berupa data dan informasi terkait perpajakan, yang
dihimpun DJP dari instansi lain dapat dimanfaatkan untuk mengecek
kebenaran data perpajakan yang disampaikan oleh Wajib Pajak. Sanksi
pidana yang dikenakan terhadap Wajib Pajak bandel akan membuatnya
berpikir dua kali
untuk melakukan pelanggaran pidana. Upaya tersebut diperkuat dengan
pembenahan kualitas pegawai pajak, baik sisi teknis maupun mentalitas,
yang konsisten dilakukan oleh DJP guna mencapai target penerimaan pajak.
Dengan target penerimaan pajak yang selalu meningkat, DJP paham betul
bahwa tanggung jawab besar itu harus dijawab dengan profesionalisme
tinggi dan keikhlasan untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.
Sumber : Detik.com