Ilustrasi (Dok Okezone)
Kepolisian Republik Indonesia kembali mendapat sorotan tajam publik.
Betapa tidak, masih segar dalam ingatan mantan Kepala Korps Lalu Lintas
Irjen Pol Djoko Susilo terseret dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
alat simulator SIM yang merugikan negara hingga miliaran rupiah.
Irjen Djoko belakangan terungkap memiliki sederet rumah mewah, pom
bensin, bus, mobil mewah, sawah dan berbagai aset kekayaan lainnya yang
kini sudah disita oleh penyidik Komisi Pemberantasan Kosupsi.
Tak lama berselang, seorang bintara berpangkat Ajun Inspektur Polisi
Satu (Aiptu) Labora Sitorus yang berdinas di Polres Raja Ampat, Papua
kedapatan memiliki rekening fantastis yang nominalnya mencapai Rp900
miliar. Dalam lima tahun terakhir, PPATK juga mencatat adanya transaksi
sebesar Rp1,5 triliun yang dilakukan Aiptu Labora.
Atas temuan ini Kepolisian kemudian melakukan penyelidikan keterkaitan
Labora pada kasus penimbunan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan penyelundupan
kayu yang telah ditangani Polda Papua sejak Maret 2013.
Saat diperiksa, Labora mengaku memiliki usaha di bidang migas dan kayu.
Namun, menurut dia bisnis itu legal. PT Rotua yang bergerak di bidang
kayu dan PT Seno Adi Wijaya (SAW) yang bergerak di bidang migas dibeli
oleh istri Labora tak lebih dari sepuluh tahun lalu.
Jajaran direksi perusahaan itu ditempati oleh orang-orang dari dalam
keluarga besarnya. Istri Labora menjadi komisaris, adik iparnya menjadi
direktur, dan kepemilikan saham dibagi juga kepada dua anaknya.
Sehubungan dengan pengakuan di atas, Ketua Presidium Indonesia Police
Watch (IPW), Neta S Pane menilai, sangat tidak logis dan sulit dicerna
oleh akal sehat, seorang bintara Polri memiliki rekening 'gendut' yang
bahkan nominal kekayaannya bisa melebihi perwira tinggi selevel jenderal
sekalipun.
Hal ini pun kemudian menuai kontroversi, bolehkah seorang anggota Polri
menyambi berbisnis sampingan guna mendapatkan penghasilan tambahan di
luar kedinasannya? Berikut wawancara lengkap
Okezone dengan Neta S Pane, Senin (20/5/2013):
Aiptu Labora Sitorus, seorang bintara anggota Polres Raja Ampat
Papua kedapatan memiliki rekening hingga triliunan rupiah. Namun, ketika
kasus ini mencuat, kenapa Kompolnas justru “membela” Aiptu Labora?
Menurut Anda, ada fenomena apakah ini?
Seharusnya posisi Kompolnas tidak “membela” pihak yang diduga melakukan
tindakan KKN. Dalam kasus ini karena LS mengadu, Kompolnas harus
menerima pengaduan tersebut untuk kemudian melakukan kroscek, apakah LS
di pihak yang benar atau tidak. Kalau LS berada di pihak yang benar,
Kompolnas harus membelanya.
Apa memang diperbolehkan seorang anggota Polri berbisnis atau
kerja sambilan demi mendapat penghasilan tambahan dengan cara-cara
seperti itu?
Dalam kasus Aiptu Labora, ada kesalahan yang fatal yang dilakukan, yakni
sebagai anggota polisi dia berbisnis. Kalau dia mau menjadi pengusaha,
seharusnya Labora keluar dari Kepolisian. Sebab, bukan mustahil
keberadaannya sebagai Korps Polri disalahgunakan atau dimanfaatkan untuk
memperkaya diri sendiri dengan trik-trik bisnisnya. Fakta-fakta inilah
yang seharusnya dilihat dan dicermati Kompolnas agar Kompolnas tidak
dituding membela Aiptu Labora secara membabibuta.
Apa faktor pemicu para polisi di daerah kerap melakukan praktek bisnis ilegal tersebut?
Ada dua faktor penyebabnya. Pertama tidak adanya pengawasan terhadap
sikap, perilaku, dan kinerja anggota Polri, terutama di daerah. Kondisi
ini membuat banyak polisi di daerah bersikap semaunya untuk memperkaya
diri dengan cara-cara ilegal. Polisi-polisi yang di daerahnya ada lokasi
tambang, hutan, perkebunan, dan perikanan banyak lebih kaya ketimbang
Polisi di Jakarta.
Kedua, gaya hidup hedonis yang cenderung membuat banyak polisi menjadi
bermata gelap untuk meraih kehidupan sosialita yang gemerlap. Tak heran,
walau gajinya sangat kecil, banyak polisi yang punya rumah mewah
ataupun mobil mewah.
Lalu, banyak anggota Polri yang bergelimang harta bahkan kaya
mendadak terutama yang berdinas di daerah. Sebenarnya apa faktor
penyebab mereka bisa kaya mendadak seperti itu?
Rendahnya pengawasan terhadap polisi membuat Labora-Labora lain
bermunculan di berbagai daerah. Kecurangan tingkat tinggi itu cenderung
dilakukan oknum-oknum Polri untuk memperkaya diri. Ada lima hal yang
membuat anggota Polri bisa kaya raya.
Pertama, karena kolusi dan pertemanan destruktif. Kedua, menjadi makelar
kasus. Ketiga, menerima setoran dari bawahan. Keempat, melakukan
pungli. Kelima, memanipulasi barang bukti. Keenam, menerima uang ucapan
terimakasih. Poin terakhir ini merupakan komponen yang cukup signifikan
dan cenderung dianggap halal padahal sebuah gratifikasi.
Mabes Polri sudah menangkap dan menahan Aiptu LS. Lalu, sanksi
apa yang tepat bagi seorang bintara yang ketahuan nyambi bisnis ilegal
terkait kasus-kasus seperti ini?
IPW memberi apresiasi kepada Polri yang dengan cepat menahan dan
menjadikan Aiptu Labora sebagai tersangka. Mengingat Polri sudah
menjeratnya dengan pasal pencucian uang, Polri harus segera menyita
semua kekayaan Labora, seperti KPK melakukannya terhadap Irjen Djoko
Susilo. Soal berapa lama hukumannya, biar nanti pengadilan yang
memutuskan.