PBB
memperkirakan lebih dari 600 juta wanita di dunia hidup di
negara-negara yang menganggap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
bukanlah kejahatan atau tindak kriminal. Kesimpulan ini diperoleh badan
kesehatan dunia (WHO) dari hasil studi 27 tahun terhitung tahun 1983 s.d
2010 di 86 negara dengan fokus pada wanita dan remaja berusia 15 tahun
ke atas.
Yang
terbaru, PBB bersama dengan dua lembaga yakni London School of Hygiene
and Tropical Medicine (LSHTM) dan South African Medical Research Council
(SAMRC) menemukan fakta, sepertiga wanita di dunia pasti pernah
mengalami kekerasan fisik maupun seksual dari pasangan atau mantan
pasangannya.
Menurut
Dr. Margaret Chan, kepala WHO, kekerasan terhadap wanita telah menjadi
'masalah kesehatan global dengan proporsi epidemik'. Tindak kekerasan
fisik maupun seksual ternyata menjadi pemicu kondisi depresi dan
munculnya masalah kesehatan lain yang terjadi pada wanita. Untuk itu,
para peneliti diantaranya Prof Charlotte Watts dari LSHTM menyarankan
adanya screening untuk korban kekerasan pada wanita di seluruh dunia.
Misal
mendirikan klinik pre-natal (obstetri dan kandungan) yang khusus
menangani korban-korban kekerasan seksual. Sebab review ini menemukan
bahwa dalam diri sebagian besar wanita korban kekerasan muncul
'ketakutan akan stigma' dari masyarakat, sehingga mereka enggan
melaporkan tindak kekerasan fisik maupun seksual yang mereka alami.
Termasuk pendirian klinik patah tulang.
''Jika
seorang wanita kerapkali datang ke klinik patah tulang atau klinik
pre-natal dan Anda bertanya ada apa dengannya maka lama-lama mereka akan
mengakui jika mereka mendapatkan cedera tersebut, misalnya, setelah
mengalami pelecehan atau tindak kekerasan," kata Sheila Sprague dari
McMaster University.
Dalam
analisis statistik pembunuhan internasional diketahui, suami atau
pasangan dekat bertanggung jawab dari 38 persen pembunuhan perempuan di
dunia.
Claudia
Garcia-Moreno, kepala spesialis gender, hak reproduksi, kesehatan
seksual dan remaja di WHO yang juga salah satu penyusun laporan
tersebut, mengatakan kekerasan fisik dan seksual terhadap perempuan
sangat berdampak pada kesehatan perempuan. Ia mengatakan 42 persen
perempuan yang dipukuli pasangannya mengalami luka-luka.
“Perempuan
yang mengalami kekerasan fisik atau seksual berisiko dua kali lebih
tinggi untuk mengalami depresi atau bermasalah dengan penggunaan alkohol
dibandingkan mereka yang tidak pernah mengalami kekerasan. Mereka juga
dua kali lebih mungkin mengalami aborsi. Risiko mendapatkan infeksi
menular seksual dan HIV naik satu atau satu setengah kali lipat. Mereka
juga lebih berisiko melahirkan bayi-bayi berberat badan rendah," kata
Garcia-Moreno.
Kekerasan Seksual Non-Pasangan Juga Tinggi
Untuk
mengetahui angka kejadian kekerasan seksual yang dilakukan
non-pasangan, WHO mengamati 56 negara yang dianggap paling banyak
melaporkan kejadian semacam ini, kecuali dari kawasan Timur Tengah yang
cenderung tertutup dengan hal ini.
Hasilnya,
tingkat KDRT pada wanita tertinggi terjadi di Afrika, Timur Tengah dan
Asia Tenggara. Di kawasan-kawasan tersebut 37 persen wanitanya pernah
mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual dari pasangannya.
Lalu kawasan Amerika Latin sebesar 30 persen dan Amerika Utara 23
persen. Yang terendah di Eropa dan Asia yaitu sebesar 25 persen.
Beberapa temuan kunci lainnya antara lain:
- 38 persen wanita dibunuh oleh pasangannya sendiri.
- 42 persen wanita mengalami tindak pelecehan secara fisik maupun seksual hingga menimbulkan cedera tertentu.
- Korban dari kekerasan yang dilakukan bukan pasangan 2,6 kali lebih besar kecenderungannya untuk mengalami depresi dan kegelisahan dibandingkan wanita yang tidak mengalami kekerasan apapun.
- Korban kekerasan yang dilakukan pasangannya sendiri dua kali lebih besar kecenderungannya untuk mengalami depresi dan kegelisahan dibandingkan wanita yang tidak mengalami kekerasan apapun.
- Korban kekerasan juga lebih cenderung menyalahgunakan alkohol, melakukan aborsi dan terserang penyakit menular seksual maupun HIV.