Jakarta - 5 Cerita dan Insiden di LP Tanjung Gusta 2 Tahun Terakhir
Menjelang
Maghrib, Kamis (11/7) kemarin, suasana di dalam LP Klas I Tanjung Gusta
Medan ricuh. Awalnya napi protes karena listrik padam dan air tak
mengalir sejak pagi, lalu menuntut revisi PP 99 tahun 2012 tentang
pembebasan bersyarat. Mereka melawan petugas, menjebol pintu utama, dan
membakar ruangan LP. Rusuh!
Napi dan tahanan kian berani. Mereka
melempari petugas dengan batu. Bumm! Sempat terdengar ledakan dari dalam
LP yang dibangun pada tahun 1982 itu. Dalam gelap, sejumlah napi kabur,
termasuk napi teroris. Sebagian di antaranya berhasil ditangkap.
Petugas
pemadam kebakaran dan polisi berdatangan. Pukul 23.00 WIB, api mulai
mengecil, tapi membara lagi pada dini hari. Polisi dan TNI yang hendak
masuk ke LP mendapat perlawanan. Tembakan gas air mata dibalas lemparan
batu. Suasana kian mencekam. Mendengar informasi napi kabur, masyarakat
ibu kota Sumatera Utara itu tak berani keluar rumah.
Berapa napi
yang kabur dalam kerusuhan, hingga saat ini belum jelas. Total penghuni
LP sendiri, berdasarkan data di situs Ditjen Pemasyarakatan hingga
tanggal 11 Juli 2013, berjumlah 2.600 orang. Terdiri dari 6 tahanan dan
2.594 napi, dari kasus narkoba hingga teroris. Ironisnya, jumlah
penghuni tak sebanding dengan kapasitas LP yang hanya 1.054 napi.
Artinya, ada
over capacity 247 persen!
LP yang terletak di
Jl Pemasyarakatan No 27 Tanjung Gusta Medan ini menyimpan banyak
cerita. Dua tahun terakhir beberapa insiden dan aksi kriminal terjadi. 5
Hal di bawah ini di antaranya:
1. Rusuh Gara-gara Utang Piutang
Bentrokan 2 kelompok
napi antar blok terjadi 2 kali, Jumat (26/4/2013) pagi. Mereka saling
serang di areal lapangan LP. Diduga pemicunya adalah masalah
utang-piutang.
2 Napi terluka sabetan pedang dan seorang terkena
hantaman benda tumpul. Korban luka di bagian kepala dibawa ke RSU Bina
Kasih, Medan dengan kondisi kritis.
Bentrokan baru reda setelah petugas turun tangan. Puluhan petugas Shabara dari Polresta ikut membantu pengamanan.
Sebanyak
17 napi dipindahkan sementara di beberapa LP di Sumut. Mereka diangkut
dengan kendaraan tahanan secara bertahap sore harinya. Kelompok pertama
berjumlah 5 orang dikirim ke LP Pematang Siantar, kemudian 4 orang
dikirim ke LP Binjai, 4 orang dikirim ke LP Lubuk Pakam, Deli Serdang,
dan terakhir 4 orang lagi dikirim ke LP Tebing Tinggi.
Kepala
Divisi Pemasyarakatan Kanwil Kemenkumham Sumut, Amran Silalahi,
menyatakan 17 orang yang dipindah ini merupakan pelaku bentrokan. Tidak
termasuk Asiong, salah satu pemicu kasus bentrokan. "Asiong bisa saja
nanti dipindahkan juga, tergantung situasinya," kata Amran.
2. Penipuan 'Anak Anda Terlibat Narkoba'
Tidak ada
yang menyangka, penipuan melalui telepon dengan modus 'anak Anda
terlibat narkoba' dikendalikan dari LP. Aksi kriminal itu terungkap
setelah Polda Metro Jaya menangkap YD (20) pada 30 Maret 2013. YD
mengaku dalang kejahatan itu adalah Z, napi di LP Tanjung Gusta.
Pengungkapan
kasus itu berawal dari laporan seorang korban pada 19 Januari 2013. YD
mengaku sebagai polisi dan menelepon korban bahwa anaknya terlibat
narkoba. Ia meminta ditransfer Rp 75 juta sebagai dana tebusan. Polisi
melacak dengan beragam cara. Jejak YD terendus.
Dari tangan YD, polisi menyita 1 unit HP, dan 1 unit ATM BCA atas nama pemilik rekening orang yang tak dikenal.
"Pengakuan
tersangka YD, bahwa otak pelaku adalah Z yang sedang menjalani hukuman
di LP Tanjung Gusta Medan," jelas Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Putut Eko
Bayu Seno di Mapolda Metro Jaya, Jl Sudirman, Jakarta, Kamis
(11/4/2013).
YD beraksi sejak 2010. Jumlah korban mencapai puluhan orang. Bersama Z, ia meraup uang ratusan juta rupiah dari penipuan itu.
3. Tahanan Bandar Narkoba
Dua tahanan yang mendekam
di LP Tanjung Gusta diciduk BNN pada awal April 2013. Keduanya
diidentifikasi terlibat dalam kasus narkoba jaringan internasional.
Dua
tahanan itu bernama Agung dan Faisal. Mereka menghuni Blok D 22. Nama
Agung muncul setelah tersangka pengedar narkoba yang juga mahasiswa
fakultas hukum di Medan, Menet alias Agustinus Pangaribuan, ditangkap
karena memiliki 102,2 gram sabu. Sedangkan nama Faisal terkait dengan
penangkapan Sumardi alias Ahay dan SY alias RI dalam kasus serupa.
Deputi
Tindak Pemberantasan Narkoba Irjen Benny Mamoto membenarkan penangkapan
tersebut. "Kedua tahanan tersebut (Agung dan Faisal) ada kaitannya
dengan kasus Agus Pangaribuan alias Menet," ujar Benny saat dikonfirmasi
detikcom, Selasa (2/4/2013)
"Informasinya mereka terhubung dengan jaringan internasional," imbuhnya.
4. WN Nigeria Bos Narkoba
Masih soal narkoba. Seorang
WN Nigeria yang sedang menjalani hukuman di LP Tanjung Gusta ditangkap
BNN, Selasa (27/11/2012). Pria bernama Samuel Mamudu ini diduga
mengendalikan peredaran narkotika dari LP.
Samuel diciduk
berdasarkan keterangan wanita berinisial AC yang membawa sabu seberat
2.609,9 gram di bantal guling di kawasan Manggarai, Jakarta Pusat.
Kemudian BNN juga berhasil menangkap sejumlah orang, termasuk J alias B,
warga Kamerun yang tidak lain adalah suami AC.
Tidak hanya
peredaran narkoba, BNN juga menemukan tindak pidana pembuatan uang palsu
berupa material bahan uang palsu USD sebanyak dua dus dan sejumlah
cairan untuk membuat uang palsu. Dari pengembangan lanjutan, BNN
mengungkap WN Nigeria berinisial ON yang menerima aliran dana dari
Samuel.
"Semua hasil pengembangan di sejumlah lokasi. Ternyata
peredaran narkoba dikendalikan dari ruang tahanan," sebut Direktur
Narkotik Sintetis BNN Kombes Pol Adrial.
Samuel adalah napi
kasus narkoba. Ia dihukum karena terbukti menjadi otak penyelundupan
2.983 gram heroin dan 497 gram sabu yang masuk dari Pelabuhan Teluk
Nibung, Tanjung Balai, Sumut, pada 29 April 2011 lalu. Pria berkulit
hitam ini ditangkap Polda Sumut di Kompleks Karawaci, Tangerang pada 4
Mei 2011.
5. Miliaran Rupiah dari 'Anak Ibu Masuk Penjara'
Dari
balik jeruji besi, AA alias Andin, IFR alias Ipan alias Bureng, PT
alias Fredi, MS alias Tompul, Z alias Zul dan R alias Anto, beraksi.
Mereka menelepon sejumlah korban. Dengan dalih anak korban masuk
penjara, mereka meraup uang miliaran rupiah.
Aksi 6 napi LP
Tanjung Gusta ini terungkap setelah ada laporan Mardi pada 5 September
2011. Mardi mengaku mengalami kerugian sebesar Rp 126 juta setelah
menerima telepon dari pelaku sebulan sebelumnya. Pelaku menghubungi
nomor korban dan mengaku sebagai kakak korban yang sedang ditahan di
Polres Depok.
Mendengar berita tersebut, korban menghubungi
nomor kakak korban, namun tidak ada yang mengangkat. Korban kemudian
menelepon kembali nomor pelaku. Setelah berbicara dengan pelaku, pelaku
lainnya mengaku sebagai anak korban dan berpura-pura menangis karena
ditahan di Polres Depok.
Dalam perbincangan di telepon, pelaku
lainnya mengaku sebagai polisi. Kepada korban, ia meminta sejumlah uang
bila tidak ingin anaknya ditahan. Korban panik dan menuruti perintah
pelaku. Karena kalut, korban mengirim uang sebesar Rp 126 juta. Uang itu
ditransfer sebanyak 14 kali dari pagi sampai siang.
Pada siang
hari, korban bisa menghubungi kakaknya. Ia baru menyadari kalau dirinya
tertipu. Ternyata, kakaknya dan anaknya baik-baik saja.
Sindikat
ini beraksi selama 3 tahun. Dari pemeriksaan polisi terhadap SMS di
ponsel pelaku, korban berjumlah puluhan. Selain modus 'anak ibu masuk
penjara', mereka juga memakai modus 'saudara di rumah sakit dan perlu
dana', dan 'mama minta pulsa'.
Bagaimana pelaku bisa memiliki
ponsel saat berada di LP? Berdasarkan penelusuran petugas, pelaku
mendapatkan alat komunikasi itu dari pembesuk. Ponsel
di-
pretheli, hanya menyisakan bagian mesin, layar dan
keypad. Barang-barang itu diselipkan ke baju, lalu dirakit ulang di
dalam LP.
"Handphone milik tersangka Ipan," ujar Kasubdit Cyber
Crime Polda Metro Jaya, AKBP Hermawan, di Mapolda Metro Jaya, Jakarta,
Selasa (4/10/2011).
Ipan satu sel dengan Andin, Fredi dan Tompul.
Andin adalah otak kejahatan itu. Ia memakai handphone Ipan pada jam-jam
Subuh, menjelang pagi. Setelah berhasil mengelabui korban, Andin
menyerahkan kembali HP kepada Ipan. Dalam kejahatan ini, Andin mengaku
sebagai anak korban yang sedang bermasalah dengan polisi sekaligus
polisi. Ipan melakukan hal serupa kepada korban dengan mengaku komandan
Andin.
"Ipan kebagian Rp 5 juta dari Andin, begitu juga dengan tersangka Fredi dan Tompul," kata Hermawan.
Sementara
tersangka Zul dan Anto yang satu sel, bertugas menyediakan rekening.
Tersangka Zul dan Anto masing-masing mendapat bagian Rp 3 juta dan Rp 2
juta.
"Tersangka Zul meminjam rekening keluarganya, kemudian nanti keluarganya menyerahkan uang kepada tersangka," ungkap Hermawan.
Korban
sindikat ini adalah pemilik nomor cantik. Alasannya pemilik nomor
cantik biasanya orang berpunya. Setelah kasusnya terungkap, napi-napi
ini dipastikan menghuni LP lebih lama. Padahal sebagian di antaranya
sudah hampir bebas. AA misalnya. Dari 17 tahun hukuman, saat itu
seharusnya 3 bulan lagi ia keluar dari LP.