27 September 2013

Selamat Berkat Pura-pura Mati Saat Penyanderaan Mal Kenya


Selamat Berkat Pura-pura Mati Saat Penyanderaan Mal Kenya
Nairobi : Berbagai cara dilakukan oleh para sandera di Mal Westgate, Nairobi, Kenya yang menjadi tempat pembantaian oleh militan Al Shaahab pada 21 September, untuk bisa bertahan hidup. Trik pura-pura mati pun dilakukan, ternyata tak hanya berhasil dalam film tapi juga untuk situasi pembantaian ini.
Adalah seorang presenter radio, Sneha Kothari Mashru, yang berpura-pura mati demi menyelamatkan diri dari rentetan tembakan pria bersenjata di Mal Westgate. Ia mengunakan darah seorang remaja yang sekarat di sampingnya akibat tertembak, seperti diberitakan News.com.au yang dilansir Liputan6.com, Jumat (27/9/2013).

"Aku menyadari bahwa ia tertembak, karena dia berdarah. Jadi aku mengeluarkan ponselnya yang sudah berlumur darah secara perlahan, dan aku mencoba untuk mematikannya. Agar ponselnya tak berdering (dalam kasus itu bisa memberitahu para penyerang ada kehidupan)," ujar Sneha.
"Jadi aku mengambil banyak darahnya, sebanyak mungkin mengoleskannya pada tubuhku. Aku mengoleskannya di lengan, di tangan dan kemudian menyadari bahwa saat itu si remaja berhenti bernapas," urainya sedih.
Mengetahui remaja yang darahnya ia gunakan telah meninggal, Sneha pun semakin banyak menggunakan darahnya untuk dioleskan pada tubuhnya.
"Jadi aku mengolesnya pada lenganku sebanyak mungkin, dan aku menutupi wajahku dengan rambut hanya untuk berpura-pura bahwa aku mati atau mungkin terluka parah," imbuhnya.
Setelah horor di Mal Westgate Kenya itu berakhir, Sneha pun merasa berutang nyawa pada remaja itu. Lalu ia pun mencoba mencari tahu identitas sang penyelamatnya.
"Aku masih ingin tahu siapa dia, dan segalanya tentang remaja itu. Karena darahnya telah melindungiku dari luka atau serangan si penembak," ungkap Sneha mengenang perjuangan hidupnya ketika itu.
Korban lainnya yang juga pura-pura mati adalah Fred Bosire. Pria yang bekerja di sebuah supermarket di pusat perbelanjaan Westgate, Nairobi itu sedang sibuk melayani pelanggan saat akhir pekan sebelum pembantaian dimulai.
Seorang staf di supermarket Nakumatt yang terletak di belakang kompleks mal itu kemudian terjebak bersama ratusan rekan dan pembelinya, ketika tiba-tiba sekelompok orang bersenjata berbaris dan mengepung lalu memberondong lorong supermarket dengan senjata api otomatis.

"Aku melihat orang-orang berjatuhan di sekitarku. Orang-orang berjongkok di belakang meja daging, tapi aku mendapat cukup ruang untuk berbaring dan menelungkupkan wajah," kata Fred yang berusia 35 dari ranjang rumah sakit tempatnya di rawat.
Awalnya, Fred pikir itu adalah perampokan biasa.
"Aku melihat beberapa pembeli masih berjalan di sekitarku, mendorong keranjang belanja perlahan, mencoba untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi. Mereka, sepertiku, mungkin berpikir letusan tembakan hanya berlangsung sebentar," tutur Fred.
Kemudian Fred menyadari sesuatu yang jauh lebih mengerikan sedang terjadi.
"Aku tidak berpikir kami adalah target, tapi kemudian aku mendengar penembak berbicara. Sulit memahami apa yang mereka katakan, karena mereka berbicara dalam campuran bahasa Inggris, Kiswahili dan seperti bahasa Arab. Tapi aku tahu bahwa kami berada dalam kesulitan," rincinya.
"Anda telah menyerang negara kami, Anda telah memperkosa perempuan dan membunuh orangtua kami dan sekarang saatnya kami melakukan pembalasan," ungkap Fred dari percakapan para penembak yang ia dengar dan mengerti.
Fred pun sadar, kondisi saat itu semakin buruk.
"Aku bisa mendengar jeritan, teriakan minta tolong. Mereka menembak orang-orang yang berbaring di tanah," kenang Fred.
Setelah orang-orang tak berdosa menjadi sasaran tembak, beber Fred, tiba-tiba terdengar suara perempuan yang mengatakan dirinya dan anak-anaknya warga negara Prancis.
"Aku tahu dia punya anak, karena mereka menangis dan salah satu teroris mengatakan kepada mereka untuk tutup mulut. Dan teroris itu bicara kepada sang ibu, 'Kau beruntung kami tidak membunuh anak-anakmu', dan dia diperintahkan untuk membawa anak-anak berpindah tempat," sambung Fred.
Tak lama kemudian, ingat Fred, kembali terdengar seorang perempuan yang juga mengaku Prancis.
"Aku punya uang, ambil apa pun yang Anda inginkan. Tapi mereka menembaknya," tuturnya.
Setelah itu, giliran konter daging Fred yang diberondong tembakan. Rentetan peluru menembus kios daging tempatnya bekerja dan terdengar suara daging meleleh, kemudian ia menyadari salah satu peluru itu mengenai bagian kakinya.
"Aku kemudian menyadari telah tertembak, ketika saya mulai merasakan dingin, ketika saya merasakan rembesan darah pada pakaianku dan saat melihat ke bawah ternyata peluru telah merobek celanaku. Aku ingin berteriak, tapi aku tahu aku tidak bisa bersuara, aku juga tidak bisa bergerak," kenang Fred tentang saat-saat kritisnya.
Puas memberondong kios daging, perhatian orang-orang bersenjata itu kemudian beralih ke barisan botol anggur, wiski dan bir di rak-rak supermarket. Lalu Fred tak tahu lagi apa yang terjadi, karena pandangannya gelap dan ia pun tak sadarkan diri.
"Ketika aku tersadar, tenggorokanku terasa kering dan mencoba menahan rasa sakit. Aku mencoba untuk bergerak, tapi kaki kiriku yang tertembak tidak bisa digerakkan. Lalu aku merasakan ponselku bergetar. Istriku menelepon, aku yang sudah pasrah akan mati mengambil risiko dan mengangkatnya," paparnya.
"Aku ingat mengatakan padanya 'Aku sekarat, jangan berduka untukku, jangan beritahu anak kita tetang kematianku sampai setelah ujian sekolah dasar bulan depan'."
"Aku mengatakan kepadanya untuk tidak menelepon, karena aku sedang sekarat," lanjutnya.
Sesaat setelah Fred memutuskan teleponnya dengan sang istri, ia kembali bisa mendengar kegiatan orang-orang bersenjata itu.
"Aku mendengar suara seperti mereka sedang membuka kulkas minuman soda, sebab terdengar juga suara seperti semburan gas yang keluar ketika pertama kali membuka minuman kaleng atau botol," ucap Fred yang mengaku melihat sekilas penampakan beberapa penembak.
"Aku bisa melihat kaki mereka menggantung dari freezer, ketika mereka beristirahat melakukan pembantaian. Ada lima pasang kaki. Kelima sepatu mereka berlumuran darah," ungkapnya.
Salah satu pria bersenjata itu juga terdengar masih muda, karena suaranya sedikit feminin.
"Tak lama kemudian, mereka mulai bersuara: 'Jika kau masih hidup, kami akan membiarkan kalian pergi' Aku mendengar beberapa wanita bersuara lirih, aku berharap mereka tidak bersuara lagi, aku berharap mereka bisa bertahan, karena aku mendengar mereka ditembak dengan pembunuh berdarah dingin itu," jelasnya.
Setelah beberapa jam terbaring di lantai, Fred kemudian mendengar bahasa Kiswahili dan melihat sepatu tentara.
"Salah seorang tentara (dari kelompok para penembak) mengatakan dia pernah melihat begitu banyak mayat. Dia kemudian menggoyangkan kakiku untuk melihat apakah aku masih hidup. (Setelah itu) Aku mencoba menelepon, tetapi yang keluar hanya suara parau. Tapi itu sudah cukup," ujarnya.
Fred pun kembali tak sadarkan diri untuk kedua kalinya, hingga bantuan datang dan nyawanya terselamatkan.
"Aku tidak ingat banyak setelah itu. Aku ingat kakiku menempel ke lantai. Aku ingat mencengkeram sabuk salah satu petugas yang membawaku keluar, dan aku ingat wajah-wajah orang-orang melihatku ketika keluar," ucapnya.
Fred kini dirawat di rumah sakit Nairobi, karena luka tembak pada kaki dan lutut dan lututnya.
"Aku tahu presiden mengatakan mimpi buruk berakhir, tetapi tidak bagiku. Aku masih belum bisa menerimanya. Itu adalah hari terburuk dalam hidupku," keluh Fred.
Setelah 4 hari pengepungan, 67 nyawa melayang, aksi teror berdarah di mal Westgate di Nairobi, Kenya, dinyatakan berakhir. Masa berkabung nasional selama 3 hari dimulai.
Dalam pernyataannya di televisi, Presiden Uhuru Kenyatta mengatakan penyekapan mal telah berakhir dan korban tewas berjumlah 67 orang. Termasuk 6 anggota aparat keamanan. Sementara, dari pihak militan, 5 tewas dan 11 tersangka ditahan. (Tnt/Sss)

0 comments:

Posting Komentar