25 Juni 2013

Krisis Likuiditas China Pangkas Proyeksi Pertumbuhan

Bank of China.
Krisis finansial yang melanda kawasan Eropa dan Amerika telah berimbas pada perdagangan global. Tekanan perekonomian itu kemudian merembet ke pasar Asia.

Sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, China ikut terdampak. Pertumbuhan ekonomi China yang berbasis ekspor turun tajam, setelah pasar utama mereka di Eropa dan Amerika dihantam krisis finansial. Dua wilayah negara itu mengurangi jumlah impor atas produk China.

Goldman Sachs pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi China dari sebelumnya 7,8 persen menjadi 7,4 persen. Proyeksi itu jauh di bawah estimasi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang memprediksi pertumbuhan ekonomi China 7,7 persen dan 7,8 persen untuk 2013.

Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China tersebut, sebelumnya juga dilakukan oleh HSBC, Morgan Stanley, dan UBS.

Laporan Bank Dunia bertajuk "Prospek Ekonomi Global" menyebutkan, pada 2013, pertumbuhan ekonomi di China diperkirakan melemah, yakni mencapai 7,7 persen. Namun, pada 2014, pertumbuhan ekonomi di negeri Tirai Bambu itu berpotensi menguat kembali menjadi 8,0 dan 7,9 persen pada 2014 serta 2015.

Sementara itu, untuk 2014, menurut Goldman Sachs, perkiraan pertumbuhan China juga dipangkas menjadi 7,7 persen dari sebelumnya 8,4 persen. Dalam catatannya, Goldman masih mengharapkan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) riil China sebesar 7,5 persen pada kuartal kedua 2013, dibanding 7,8 persen pada periode saham tahun sebelumnya.

Bank investasi global asal Amerika Serikat itu mempertimbangkan adanya penerapan kebijakan pengetatan likuiditas di negeri Tirai Bambu itu oleh bank sentral China.

"Kebijakan keuangan ketat di pasar antarbank ini telah mengirimkan sinyal bahwa pertumbuhan kredit yang kuat pada awal tahun ini diperkirakan tidak berlanjut," kata Ekonom Goldman Sachs, Li Cui.

Market Strategist IG, Evan Lucas, seperti dikutip CNBC menjelaskan, institusi kecil akan terimbas dari kebijakan pengetatan kredit perbankan setelah China terkena krisis likuiditas. "Perbankan merupakan darah bagi ekonomi China. Kebanyakan klien mereka perusahaan kecil dan menengah. Mereka ini yang menggerakkan roda perekonomian sehari-hari," kata Lucas.

Kemandekan penyaluran kredit yang memicu kenaikan suku bunga pinjaman antarbank pekan lalu itu sempat direspons negatif pasar. Meskipun, pasar regional pada akhir transaksi Selasa, 25 Juni 2013, berangsur naik, menyusul ekspektasi otoritas perbankan China yakni People's Bank of China akan mengeluarkan kebijakan baru.

Pengetatan likuiditas itu membuat investor khawatir, karena laju dua kekuatan ekonomi dan pendorong utama pertumbuhan global, AS dan China, bakal terus melambat.

Deutsche Bank dalam sebuah catatannya, seperti dikutip dari Reuters, juga memperingatkan bahwa faktor lain yang berpotensi mengganggu adalah surplus perdagangan China, sehingga daya saing ekspor melemah.

Menurut statistik resmi, perdagangan China sempat mencapai surplus US$38,6 miliar pada kuartal pertama 2013. Meskipun angka terbaru pada Mei menunjukkan ekspor telah mulai melambat.

Dalam sepekan terakhir, pasar finansial global memang mengalami kegaduhan setelah bank sentral Amerika Serikat atau The Fed, mengumumkan rencana pengurangan stimulus ekonomi tahap III (quantitative easing). Upaya itu dilakukan setelah melihat data-data ekonomi terbaru Amerika yang menunjukkan perbaikan.

"Rencana pengurangan stimulus tersebut langsung mendapat respons dari pelaku pasar, dengan melepas investasi saham," kata Ekonom PT BNI Securities, Heru Irvansyah, dalam analisisnya.

Kondisi itu menyebabkan kejatuhan harga saham pada hampir seluruh pasar dunia. Indeks Nikkei di bursa Jepang pada transaksi awal pekan ini tergerus 1,26 persen, demikian juga Hang Seng (Hong Kong), Kospi (Korea Selatan), dan Straits Times di bursa Singapura.

Indeks bursa saham Asia itu turun antara 1-2 persen lebih. Kondisi serupa juga dialami indeks harga saham gabungan (IHSG), yang pada awal pekan transaksi ditutup anjlok 1,9 persen ke level 4.429,46. Meskipun pada akhir transaksi Selasa 25 Juni 2013, hanya turun 10,58 poin (0,24 persen) menjadi 4.418,8.

Sementara itu, pada akhir transaksi kemarin, indeks komposit Shanghai masih melemah 3,73 poin (0,19 persen), Nikkei merosot 93,44 poin (0,72 persen), dan Kospi terkoreksi 18,3 poin (1,02 persen). Namun, indeks Straits Times dan Hang Seng justru mampu menguat masing-masing 0,51 persen dan 0,21 persen.

Di pasar surat utang, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun naik. Kenaikan ini merupakan yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir pada level 2,6 persen.

Situasi tersebut yang juga berdampak pada penurunan harga obligasi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.

Dampak bagi IndonesiaKepala Riset PT Trust Securities, Reza Priyambada, mengungkapkan, upaya pemerintah China untuk membatasi penyuntikan likuiditas ke pasar finansial, akan memberikan sentimen negatif terhadap investor yang ingin menanamkan modalnya ke negara berkembang, termasuk Indonesia.

"Dampaknya lebih ke sentimen, investor akan memikirkan risikonya jika berinvestasi ke China," kata Reza kepada VIVAnews.

Reza melihat, keputusan pengetatan likuiditas tersebut, salah satunya adalah respons pemerintah China terhadap keputusan Gubernur Federal Reserves, Ben Bernanke, yang akan mengurangi secara bertahap kebijakan pelonggaran
kuantitatifnya.

"China ingin mengurangi ketergantungan terhadap Amerika. Negeri ini juga ingin menata kembali industri keuangannya, setelah dihentikannya program stimulus oleh Amerika," jelasnya.

Ia menjelaskan, kebijakan pengetatan likuiditas tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap pasar finansial Indonesia. Sebab, selama ini, transaksi dagang Indonesia tidak berhubungan langsung dengan perbankan China.

"Lebih banyak berhubungan antara pelaku pasar, China-Indonesia. Lebih ke supply dan demand. Jadi, dampaknya ke Indonesia juga tidak terlalu besar," tuturnya. "Kecuali kalau pedagang berhubungan langsung dengan perbankan China, itu dampaknya akan terasa," tegasnya.

Untuk pertumbuhan ekonomi 2014, pemerintah RI bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2014.

Menteri Keuangan, Chatib Basri, awal pekan ini, mengungkapkan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi RI pada 2014 yang disetujui mencapai 6,4 persen hingga 6,9 persen.

Ia menilai, pertumbuhan ekonomi tersebut masih akan dipengaruhi kondisi global, salah satunya kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh bank sentral Amerika Serikat.

Namun, laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan, pertumbuhan di kawasan regional, di luar China, akan melambat pada 2013 menjadi 5,7 persen, sebagian karena pengetatan kebijakan fiskal. Meskipun akan terjadi pertumbuhan yang solid di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand.

Bank Dunia menyatakan, risiko yang dapat menghambat laju pertumbuhan ekonomi wilayah ini di antaranya terkait pengurangan bertahap pada investasi China dan pelonggaran kuantitatif di Jepang.

Pertumbuhan di negara berkembang, Bank Dunia melanjutkan, akan tetap solid, meskipun lebih lambat dari periode booming sebelum krisis.

Bank Dunia menyatakan, produk domestik bruto global diperkirakan tumbuh sekitar 2,2 persen pada tahun ini, dan berpotensi meningkat menjadi 3,0 persen dan 3,3 persen pada 2014 serta 2015.

Sementara itu, pertumbuhan PDB di negara berkembang diproyeksikan menjadi sekitar 5,1 persen pada 2013, sebelum kembali naik menjadi 5,6 persen dan 5,7 persen pada 2014 serta 2015. Namun, pertumbuhan ekonomi yang mengacu PDB di Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan diproyeksikan tetap melemah.(np)

0 comments:

Posting Komentar