Krisis finansial yang
melanda kawasan Eropa dan Amerika telah berimbas pada perdagangan
global. Tekanan perekonomian itu kemudian merembet ke pasar Asia.
Sebagai
salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi, China ikut
terdampak. Pertumbuhan ekonomi China yang berbasis ekspor turun tajam,
setelah pasar utama mereka di Eropa dan Amerika dihantam krisis
finansial. Dua wilayah negara itu mengurangi jumlah impor atas produk
China.
Goldman Sachs pun menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi
China dari sebelumnya 7,8 persen menjadi 7,4 persen. Proyeksi itu jauh
di bawah estimasi Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) yang
memprediksi pertumbuhan ekonomi China 7,7 persen dan 7,8 persen untuk
2013.
Pemangkasan proyeksi pertumbuhan ekonomi di China tersebut, sebelumnya juga dilakukan oleh HSBC, Morgan Stanley, dan UBS.
Laporan
Bank Dunia bertajuk "Prospek Ekonomi Global" menyebutkan, pada 2013,
pertumbuhan ekonomi di China diperkirakan melemah, yakni mencapai 7,7
persen. Namun, pada 2014, pertumbuhan ekonomi di negeri Tirai Bambu itu
berpotensi menguat kembali menjadi 8,0 dan 7,9 persen pada 2014 serta
2015.
Sementara itu, untuk 2014, menurut Goldman Sachs, perkiraan
pertumbuhan China juga dipangkas menjadi 7,7 persen dari sebelumnya 8,4
persen. Dalam catatannya, Goldman masih mengharapkan pertumbuhan produk
domestik bruto (PDB) riil China sebesar 7,5 persen pada kuartal kedua
2013, dibanding 7,8 persen pada periode saham tahun sebelumnya.
Bank
investasi global asal Amerika Serikat itu mempertimbangkan adanya
penerapan kebijakan pengetatan likuiditas di negeri Tirai Bambu itu oleh
bank sentral China.
"Kebijakan keuangan ketat di pasar
antarbank ini telah mengirimkan sinyal bahwa pertumbuhan kredit yang
kuat pada awal tahun ini diperkirakan tidak berlanjut," kata Ekonom
Goldman Sachs, Li Cui.
Market Strategist IG, Evan Lucas, seperti dikutip CNBC
menjelaskan, institusi kecil akan terimbas dari kebijakan pengetatan
kredit perbankan setelah China terkena krisis likuiditas. "Perbankan
merupakan darah bagi ekonomi China. Kebanyakan klien mereka perusahaan
kecil dan menengah. Mereka ini yang menggerakkan roda perekonomian
sehari-hari," kata Lucas.
Kemandekan penyaluran kredit yang
memicu kenaikan suku bunga pinjaman antarbank pekan lalu itu sempat
direspons negatif pasar. Meskipun, pasar regional pada akhir transaksi
Selasa, 25 Juni 2013, berangsur naik, menyusul ekspektasi otoritas
perbankan China yakni People's Bank of China akan mengeluarkan kebijakan
baru.
Pengetatan likuiditas itu membuat investor khawatir,
karena laju dua kekuatan ekonomi dan pendorong utama pertumbuhan global,
AS dan China, bakal terus melambat.
Deutsche Bank dalam sebuah catatannya, seperti dikutip dari Reuters,
juga memperingatkan bahwa faktor lain yang berpotensi mengganggu adalah
surplus perdagangan China, sehingga daya saing ekspor melemah.
Menurut
statistik resmi, perdagangan China sempat mencapai surplus US$38,6
miliar pada kuartal pertama 2013. Meskipun angka terbaru pada Mei
menunjukkan ekspor telah mulai melambat.
Dalam sepekan terakhir,
pasar finansial global memang mengalami kegaduhan setelah bank sentral
Amerika Serikat atau The Fed, mengumumkan rencana pengurangan stimulus
ekonomi tahap III (quantitative easing). Upaya itu dilakukan setelah melihat data-data ekonomi terbaru Amerika yang menunjukkan perbaikan.
"Rencana
pengurangan stimulus tersebut langsung mendapat respons dari pelaku
pasar, dengan melepas investasi saham," kata Ekonom PT BNI Securities,
Heru Irvansyah, dalam analisisnya.
Kondisi itu menyebabkan
kejatuhan harga saham pada hampir seluruh pasar dunia. Indeks Nikkei di
bursa Jepang pada transaksi awal pekan ini tergerus 1,26 persen,
demikian juga Hang Seng (Hong Kong), Kospi (Korea Selatan), dan Straits
Times di bursa Singapura.
Indeks bursa saham Asia itu turun
antara 1-2 persen lebih. Kondisi serupa juga dialami indeks harga saham
gabungan (IHSG), yang pada awal pekan transaksi ditutup anjlok 1,9
persen ke level 4.429,46. Meskipun pada akhir transaksi Selasa 25 Juni
2013, hanya turun 10,58 poin (0,24 persen) menjadi 4.418,8.
Sementara
itu, pada akhir transaksi kemarin, indeks komposit Shanghai masih
melemah 3,73 poin (0,19 persen), Nikkei merosot 93,44 poin (0,72
persen), dan Kospi terkoreksi 18,3 poin (1,02 persen). Namun, indeks
Straits Times dan Hang Seng justru mampu menguat masing-masing 0,51
persen dan 0,21 persen.
Di pasar surat utang, imbal hasil (yield)
obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun naik. Kenaikan ini merupakan
yang tertinggi dalam beberapa tahun terakhir pada level 2,6 persen.
Situasi
tersebut yang juga berdampak pada penurunan harga obligasi di seluruh
dunia, termasuk di Indonesia dalam beberapa hari terakhir.
Dampak bagi IndonesiaKepala
Riset PT Trust Securities, Reza Priyambada, mengungkapkan, upaya
pemerintah China untuk membatasi penyuntikan likuiditas ke pasar
finansial, akan memberikan sentimen negatif terhadap investor yang ingin
menanamkan modalnya ke negara berkembang, termasuk Indonesia.
"Dampaknya lebih ke sentimen, investor akan memikirkan risikonya jika berinvestasi ke China," kata Reza kepada VIVAnews.
Reza
melihat, keputusan pengetatan likuiditas tersebut, salah satunya adalah
respons pemerintah China terhadap keputusan Gubernur Federal Reserves,
Ben Bernanke, yang akan mengurangi secara bertahap kebijakan pelonggaran
kuantitatifnya.
"China
ingin mengurangi ketergantungan terhadap Amerika. Negeri ini juga ingin
menata kembali industri keuangannya, setelah dihentikannya program
stimulus oleh Amerika," jelasnya.
Ia menjelaskan, kebijakan
pengetatan likuiditas tersebut tidak akan berdampak signifikan terhadap
pasar finansial Indonesia. Sebab, selama ini, transaksi dagang Indonesia
tidak berhubungan langsung dengan perbankan China.
"Lebih banyak berhubungan antara pelaku pasar, China-Indonesia. Lebih ke supply dan demand.
Jadi, dampaknya ke Indonesia juga tidak terlalu besar," tuturnya.
"Kecuali kalau pedagang berhubungan langsung dengan perbankan China, itu
dampaknya akan terasa," tegasnya.
Untuk pertumbuhan ekonomi
2014, pemerintah RI bersama Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat telah
menyetujui asumsi makro pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (RAPBN) 2014.
Menteri Keuangan, Chatib Basri, awal pekan
ini, mengungkapkan bahwa asumsi pertumbuhan ekonomi RI pada 2014 yang
disetujui mencapai 6,4 persen hingga 6,9 persen.
Ia menilai,
pertumbuhan ekonomi tersebut masih akan dipengaruhi kondisi global,
salah satunya kebijakan pelonggaran kuantitatif oleh bank sentral
Amerika Serikat.
Namun, laporan terbaru Bank Dunia menyebutkan,
pertumbuhan di kawasan regional, di luar China, akan melambat pada 2013
menjadi 5,7 persen, sebagian karena pengetatan kebijakan fiskal.
Meskipun akan terjadi pertumbuhan yang solid di Indonesia, Malaysia,
Filipina, dan Thailand.
Bank Dunia menyatakan, risiko yang dapat
menghambat laju pertumbuhan ekonomi wilayah ini di antaranya terkait
pengurangan bertahap pada investasi China dan pelonggaran kuantitatif di
Jepang.
Pertumbuhan di negara berkembang, Bank Dunia melanjutkan, akan tetap solid, meskipun lebih lambat dari periode booming sebelum krisis.
Sementara itu, pertumbuhan PDB di negara berkembang diproyeksikan menjadi sekitar 5,1 persen pada 2013, sebelum kembali naik menjadi 5,6 persen dan 5,7 persen pada 2014 serta 2015. Namun, pertumbuhan ekonomi yang mengacu PDB di Brasil, Rusia, India, dan Afrika Selatan diproyeksikan tetap melemah.(np)
0 comments:
Posting Komentar