23 Juni 2013

KEBIJAKAN THE FED: Akhir Quantitative Easing & Dampaknya

130524_bursa as-2ok.jpg
PADA Juni 2013 banyak investor di pasar finansial global berpotensi rugi besar atau labanya menciut tajam. Dari New York, London, Moskwa, Mumbai, hingga Shanghai, pasar saham dan surat utang terpuruk.

Di Asia saja, sejak awal Juni indeks pasar saham Indonesia telah turun 10%, Filipina 12%, Thailand 11%, China 10%, dan Korea Selatan 9%. Harga surat utang negara (SUN) Asia ikut terpuruk, sehingga imbal hasil SUN dengan tenor 10 tahun di Indonesia naik 0,8%, Filipina 1,3% dan India 0,2%.

Akibat aksi jual saham dan surat utang secara massal di Asia, dolar AS menguat terhadap rupee India (4,9%), peso Filipina (3,5%), Thai baht (2,2%) dan rupiah (1,5%).
Mengingat yang terpuruk bukan pasar finansial Indonesia, pemicu utamanya bersifat global, khususnya di AS.

Pada 19 Juni, Gubernur bank sentral AS (Federal Reserve atau the Fed) Ben Bernanke menyatakan kebijakan quantitative easing (QE) jilid III, yang diawali pada September 2012, mungkin akan mulai diperkecil skalanya pada akhir 2013 dan diakhiri pertengahan 2014—walau jadwal pastinya akan tergantung laju pertumbuhan ekonomi AS.

Prinsipnya kebijakan QE III adalah pembelian oleh the Fed SUN AS (US treasury bonds) dan obligasi korporasi sebesar US$85 miliar setiap bulan untuk menyuntik dana segar ke perekonomian AS. The Fed membiayai pembelian tersebut dengan mencetak uang.

Mengapa the Fed melakukan kebijakan sangat agresif dan rawan memicu inflasi? Karena sejak memangkas suku bunga acuannya (FFTR) ke 0,25% pada 2008, eko nomi AS ternyata masih sangat rentan.

Karena FFTR sudah “mentok” tidak bisa dipangkas lagi, the Fed tidak bisa memberi tambahan stimulus selain dengan memompa likuiditas ke perekonomian AS. Melalui QE III, the Fed mencoba memenuhi dua objektif.
Pertama, tambahan uang segar diharapkan bisa memicu belanja masyarakat dan korporasi lebih pesat untuk memicu pertumbuhan ekonomi AS. Kedua, dengan memborong US treasury bonds dan obligasi korporasi, harganya naik dan imbal hasilnya turun sehingga bisa mengurangi biaya hutang sektor korporasi AS. Kebijakan QE memiliki dua dampak.
Dampak lokal di AS (yang diharapkan) dan dampak global, yang merupakan side effect kuat dan tidak terduga.

Di AS QE dapat meredam kepanikan pasar dan memastikan sirkulasi dana tetap banyak dengan bunga yang rendah. Namun, kebijakan ini juga menciptakan pertumbuhan “uang nganngur” (bahasa kerennya ekses likuiditas) yang tidak bisa seluruhnya diserap oleh sektor riil AS – karena pertumbuhan peredaran uang lebih pesat dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
Dampak globalnya, investor terpaksa merealokasi dana mereka dari pasar SUN dan uang AS (mengingat bunga deposito US$ yang rendah) ke bursa saham AS dan ke negara lain yang suku bunga dan pertumbuhan ekonominya relatif tinggi.
Dengan banyaknya jumlah US dolar yang dicetak, kebijakan QE AS juga memperlemah kurs dolar AS, yang membantu eksportir AS. Implikasi ini mengkhawatirkan bank sentral lainnya, termasuk European Central Bank (ECB) dan Bank of Japan (BoJ) karena mata uang mereka (euro dan yen) menguat terhadap dolar AS dan memukul ekspor Eropa dan Jepang.

Akibatnya ECB dan BoJ melakukan kebijakan QE juga (BoJ melalui intervensi di pasar valas), untuk memastikan mata uang mereka tidak menguat serta memberi stimulus ekonomi di negara masing-masing. ECB juga melakukan QE untuk membeli SUN negara Uni Eropa yang bermasalah (seperti Yunani, Itali dan spanyol) dan memastikan pemerintah di negara tersebut mendapat uang segar untuk membayar utangnya yang jatuh tempo.

Terjadilah currency war, dimana para bank sentral bersaing untuk mendepresiasi mata uangnya. Kebijakan QE bank sentral global semakin menciptakan ekses likuiditas dalam jumlah yang besar di perekonomian dunia, likuiditas yang tidak bisa sepenuhnya diserap oleh sektor riil dunia–mengingat pertumbuhan ekonomi dunia melambat dari 3,1% pada 2011 ke 2,5% pada 2012.

Maka dana menganggur ini ikut dialokasikan ke pasar saham dan surat utang dunia–karena harga surat utang AS sudah mahal akibat QE III, investor mencari surat utang
di negara lain yang harganya lebih murah, termasuk SUN Indonesia. Realokasi ini memicu penguatan indeks saham sejak awal 2013 hingga Mei. Walau banyak bank sentral di negara berkembang yang mengeluh atas kebijakan QE dan perang valasnya Fed, ECB dan BoJ, keadaan ini telah memicu kenaikan harga aset di negara berkembang yang ikut menguntungkan para investor di negara tersebut.

But all good things must come to an end. Sewaktu Ben Bernanke mengindikasikan akan berakhirnya QE III dan pembelian surat utang oleh the Fed (yang akan memicu penurunan harga US treasury bonds, kenaikan imbal hasil obligasi dan akan menyerap kembali ekses likuiditas kembali ke bank sentral), investor menjadi panik.

Sebelum wacana pengakhiran QE III dilaksanakan, investor sudah menjual surat utang dan sahamnya duluan, yang memicu terpuruknya pasar finansial global. Kepanikan investor diperburuk dengan terus rentannya pertumbuhan ekonomi China, sebagai motor pertumbuhan Asia.

PROSPEK KE DEPAN

Seperti biasanya, pasar finansial over-react terhadap “kemungkinan buruk” yang belum tentu terjadi. Pertama, Standard Chartered memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS tetap rentan, dan akan turun dari 2,2% pada 2012 ke 2,1% pada 2013, walau akan naik ke 3% pada 2014. Artinya, the Fed tidak akan terburu-buru mengakhiri QE III tahun ini.

Kedua, pasar finansial pernah mengalami diakhirinya kebijakan QE I (2010) dan QE II (2011)–memang saat itu pasar finansial terpuruk tetapi hanya temporer sebelum rebound kembali.
Ketiga, mengingat ada beberapa bank sentral yang melakukan kebijakan QE, kemungkinan besar the Feds akan mengakhiri kebijakan QE III melalui koordinasi antarbank sentral–karena kalau tidak US dolar akan menguat terlalu tajam dan memukul ekspor AS sendiri.

Keempat, kalau pun QE III berakhir, suku bunga US dolar (FFTR) diperkirakan akan tetap rendah sampai 2015, seperti yang telah diindikasikan oleh the Fed sendiri. Artinya dalam 18 bulan ke depan
memarkir uang di pasar uang dengan bunga yang rendah tetap bukanlah opsi yang menarik bagi investor global.

Setelah pasar finansial stabil lagi, investor akan kembali ke pasar saham–walau imbal hasil surat utang dunia kemungkinan akan stabil di level yang lebih tinggi, apa lagi kalau imbal hasil US treasury bond 10-tahun, misalnya, akhirnya naik dari 2% ke 4%. Terakhir, saya tidak melihat diakhirinya QE III sebagai sesuatu yang negatif karena artinya ekonomi AS (yang menggerakkan 20% dari PDB dunia) bisa kembali menjadi motor penggerak ekonomi dunia, apa lagi di saat pertumbuhan ekonomi China melambat.

Memang untuk sementara investor saham akan konsentrasi berinvestasi di AS tetapi akhirnya mereka tetap harus diversifikasi ke emerging markets, termasuk Indonesia. Sebagai pelaku pasar saya pernah mengalami krisis yang lebih parah (krisis Meksiko 1995, krismon Asia 1997/8, mini-krisis Indonesia 2005, krisis global 2008, krisis euro 2011), sehingga saya menyimpulkan kepanikan investor atas prospek berakhirnya QE III sifatnya minor dalam sejarah kapitalisme pasar.

Saya pribadi tidak menjual saham untuk profit-taking bahkan koreksi pasar saham yang dalam merupakan kesempatan untuk membeli saham. Bagi investor rupiah, respons kebijakan pemerintah dan BI jauh lebih penting dalam menentukan kepercayaan investor pada pasar finansial Indonesia.

Kebijakan penaikan harga BBM sudah tepat untuk memperkuat kredibilitas pemerintah dan meyakinkan lembaga peringkat risiko bahwa kebijakan fiskal Indonesia tetap prudent. Sementara BI diperkirakan akan terus menaikan suku bunga untuk membuat rupiah menarik.

In the end, we must do our best with matters we can control, and pray for the best that others will do the same.

0 comments:

Posting Komentar